Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara
Menurut Prof. Komariah sebagaimana dikutip Hukumonline.com, UU No. 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil. Unsur "dapat merugikan keuangan negara" seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Hal tersebut juga dapat kita lihat dalam penjelasan 2 ayat (1) UU No. 31/1999 yang menyatakan kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
2. Suap-menyuap
Untuk mengetahui pengertian suap- menyuap dapat kita lihat dalam rumusan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap :
- Pasal 2
"memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"
- Pasal 3
"menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum""
3. Penggelapan dalam jabatan
Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.
Menurut rumusan Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP terdapat empat jenis tindak pidana penggelapan yaitu penggelapan biasa, penggelapan ringan, Penggelapan dengan Pemberatan dan Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga.
Penggelapan dalam jabatan sebagaimana dimaksud dari rumusan pasal- pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 merujuk kepada Penggelapan dengan Pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).
4. Pemerasan
Berdasarkan pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 pemerasan adalah tindakan/ perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri
5. Perbuatan curang
Untuk memahami unsur perbuatan curang dalam tindak pidana korupsi, mari kita lihat tumusan pasal 7 dan pasal 12 huruf h UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
Pasal 7 ayat (1) huruf a samai dengan huruf d
pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Pasal 7 ayat (2)
"Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)"
Pasal 12 huruf h :
"Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan"
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah situasi di mana seorang PN yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga
memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan
wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi
kualitas dan kinerja yang seharusnya
Faktor Penyebab Konflik Kepentingan :
- Kekuasaan dan kewenangan Pegawai Negeri;
- Perangkapan jabatan;
- Hubungan afiliasi;
- Gratifikasi;
- Kelemahan sistem organisasi;
- Kepentingan pribadi
7. Gratifikasi
Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:
ayat (1) :
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan:
Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum:
ayat (2) :
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan: