Pembacaan pada Sidang Pertama, Senin (4/4), Jaksa Penuntut Umum mendakwa para terdakwa melakukan tindak pidana pengeroyokan yang hanya terdiri dari 4 lembar.
Sedangkan pada persidangan yg kedua, Senin (4/4), penasihat hukum membacakan Nota Keberatan (Eksepsi) dengan alasan, pertama, surat dakwaan tidak memenuhi syarat formil karena Penuntut Umum tidak menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap sesuai dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan.
Kedua, surat dakwaan tidak singkron dengan BAP Penyidik karena tidak mengakomodir dan bertentangan dengan fakta-fakta yuridis. Misalnya, tempat kejadian tindak pidana adalah perkarangan rumah milik para terdakwa, bukan ditempat umum sebagaimana diisyaratkan dalam penerapan Pasal 170 KUHP.
Selain itu, hasil visum et repertum yang dikeluarkan Puskesmas setempat menyebutkan kualifikasi luka ringan.
Ketiga, terdakwa Alexius Fahi tidak dapat dipidana karena mengalami keterbelakangan mental. Dalam surat dakwaan, Alexius Fahi didakwa memukul korban dari belakang, kena pada punggung belakang korban.
Padahal fakta yang sesungguhnya, selain cacat mental, terdakwa juga hanya berdiri di pintu rumah dan lipat tangan.
Berdasarkan eksepsi tersebut, maka kuasa hukum para terdakwa memohon Majelis Hakim untuk menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal demi hukum dan para terdakwa dikeluarkan dari tahanan.
Sementara itu, pengacara senior, Petrus Bala Pattyona, SH.MH mengatakan bahwa kasus yang menimpa para terdakwa mesti menjadi pintu masuk bagi masyarakat Belu, bahkan NTT untuk membongkar kebobrokan sistem peradilan yang telah berlangsung sekian lama.
"Dugaan rekayasa kasus yang sering terjadi karena Belu dan NTT pada umumnya ibarat surga bagi para penegak hukum untuk mengumpulkan pundi-pundi haram," ungkap Petrus.
Kasus yang terjadi di Belu, kata dia, dapat menjadi pintu masuk bagi masyarakat Belu dan NTT untuk membongkar kebobrokan sistem peradilan kita. Rekayasa kasus dan jual-beli pasal sesungguhnya bukan hal baru dalam tata peradilan kita.
"Sangat banyak masyarakat kecil yang tidak paham hukum menjadi korban kriminalisasi mafia peradilan. Kasus ini dapat membuka mata publik bahwa praktik kejahatan sistem peradilan kita berjalan amat sistematis, terstruktur, tersembunyi, namun amat dirasakan dampaknya," tandas Petrus.
Petrus menambahkan bahwa banyak masyarakat kecil di kampung-kampung yang menjadi korban rekayasa kasus. Mereka terpaksa harus jual sapi, babi, jagung, kacang, pinjam sana-sini, atau kumpul keluarga diduga untuk bayar penegak hukum agar tidak masuk penjara.
"Orang-orang kecil ibarat ATM bagi para penegak hukum yg berdampak pada kemiskinan," pungkas Petrus. [YUS/L-8]