|
Emas Hasil Penambangan Tradisional |
"Aceh adalah daerah lengkap,Punya segalanya, alam yang indah, sumber daya alam yang melimpah, industri pariwisata dan industri lainnya bisa tumbuh di sini," Demikian petikan ucapan Sandiaga Uno saat berziarah ke kuburan massal korban tsunami Aceh di pemakaman Siron, Aceh, Selasa (20/11/2018). Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan.
Aceh Kaya Sumberdaya Alam
Berbicara tentang sumber daya yang terdapat di Aceh, tidak dapat dipungkiri bahwa Aceh kaya akan SDA. Badan Investasi dan Promosi Aceh mencatat bahwa Aceh memiliki SDA yang sangat komplit, di antaranya adalah sumber daya pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan, peternakan dan pertambangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh juga melaporkan bahwa komoditi ekspor terbesar adalah bersumber dari sektor pertambangan dengan volume mencapai 2.3 juta ton atau senilai USD 1.3 miliar (ekspor menurut komoditi, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa potensi SDA dari sektor ini sangatlah besar. Namun perlu diingat, bahwa pertambangan termasuk ke dalam SDA yang tidak dapat diperbarui sehingga apabila terus menerus dieksploitasi maka jumlahnya akan semakin berkurang.
Aceh berpenduduk 5.189.466 jiwa (Data BPS s/d Tahun 2017) dengan luas wilayah 57.365,57 km2 (2,88% luas Indonesia) membentang dalam 6.770,81 Km2 memiliki 119 Pulau, 35 gunung, 73 sungai penting dan mempunyai kekayaan alam yang berlimpah yang tersebar di 6.450 gampong. Potensi ini merupakan suatu modal yang sangat penting bagi mendukung pelaksanaan pembangunan di Aceh menuju masyarakat sejahtera. Namun faktanya rakyat Aceh belum mendapatkan kehidupan yang sepadan dengan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya.
Dikutip dari laman serambinews.com (11/04/19), Sejak dulu kala Aceh dikenal sebagai penghasil rempah dan ini pulalah yang menjadi salah satu motivasi Portugis dan beberapa bangsa Eropa lain datang ke Aceh. Pada era setelah kemerdekaan Republik Indonesia Aceh juga tampil dan dikenal sebagai daerah produksi pertanian, kawasan kehutanan, penghasil mineral dan bahan bakar. Sebagai kawasan kepulauan yang beriklim tropis, Aceh juga berpotensi dalam pengembangan bidang tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan pariwisata.
Bahkan Aceh sejak 1900 telah memulai usaha pertambangan umum. Daerah operasi minyak dan gas di bagian utara dan timur meliputi daratan seluas 8.225,19 km² dan dilepas pantai Selat Malaka 38.122,68 km². Beberapa perusahaan migas yang mengeksploitasi tambang Aceh berdasarkan kontrak bagi hasil (production sharing). Sementara endapan batubara terkonsentrasi pada Cekungan Meulaboh di Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat. Terdapat 15 lapisan batubara hingga kedalaman 100 meter dengan ketebalan lapisan bekisar antara 0,5-9,5 m. Jumlah cadangan terunjuk hingga kedalam 80 meter mencapai 500 juta ton, sedangkan cadangan hipotesis sekitar 1,7 miliar ton.
Yang lebih menarik lagi hasil kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama lembaga riset geologi dan kelautan Jerman (BGR) terhadap potensi minyak bumi dan gas (Migas) di timur laut Pulau Simeulue yang diprediksi bisa menjadi penganti cadangan minyak Arun Aceh Utara. Cadangan migas dalam jumlah raksasa di cekungan busur muka Simeulue yang terletak di lepas pantai sebelah barat Aceh diperkirakan mencapai 320 milyar barrel. Jumlah ini sangat spektakuler untuk ukuran cadangan pada cekungan di Indonesia, karena dibandingkan Saudi Arabia saja yang mempunyai cekungan-cekungan raksasa dan cadangan terbesar di dunia, hanya mempunyai cadangan terbukti sebesar 264,21 milyar barrel.
Provinsi Aceh juga memiliki beragam potensi sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik yang terdiri dari potensi air, panas bumi, batubara. Diperkirakan potensi sumber tenaga air mencapai 2.626 MW yang tersebar di 15 lokasi di wilayah Aceh. Salah satu dari potensi tersebut adalah PLTA Peusangan dengan daya sebesar 89 MW, di daerah Jambo Aye yang diperkirakan mencapai 471 MW, Lawe Alas sebesar 268 MW, dan Tampur sebesar 126 MW. Disamping itu juga terdapat potensi batubara yang dapat dikembangkan sebesar 1.300 juta ton. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa Aceh memiliki 17 titik panas bumi yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan tenaga listrik.
Banyaknya sumber daya alam dan energi di Aceh mempengaruhi Pendapatan Asli Aceh (PAA) yang di provinsi lain dinamakan pendapatan asli daerah (PAD), yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berdsarkan Data BPS Provinsi Aceh, Realisasi Pendapatan Pemerintah Provinsi Aceh sepanjang tahun 2013-2017 berjumlah 12,6 – 14,7 trilyun rupiah pertahun. Peningkatan juga terjadi pada realisasi belanja pemerintah Provinsi Aceh. Sepanjang tahun 2013-2017 pengeluaran Pemerintah Provinsi Aceh mencapai 12,05 hingga 15,18 trilyun rupiah setiap tahunnya. Pendapatan keuangan Pemerintah Provinsi Aceh sebagian besar berasal dari Pos Lain-lain Pendapatan yang Sah, dengan kontribusi sebesar 53 – 69 persen per tahun. Pendapatan dari PAD sangat kecil jumlahnya. Sedangkan belanja Pemerintah Provinsi Aceh dialokasikan terbanyak kepada belanja barang dan jasa dengan kontribusi sebesar 28 – 50 persen setiap tahunnya.
Realisasi pendapatan seluruh kabupaten/kota di Aceh setiap tahunnya sangat besar dan terus meningkat, dari 16,7 trilyun rupiah pada tahun 2013 hingga mencapai 31,5 tirlyun rupiah pada tahun 2016 dan ditargetkan berjumlah 30,9 trilyun rupiah tahun 2017. Sumber pendapatan terbesar berasal dari dana perimbangan, terutama dari DAU dan DAK dengan kontribusi sebesar 58 hingga 80 persen per tahun. Dana PAD sendiri sangat minim jumlahnya. Sedangkan belanja seluruh tingkat dua dalam Provinsi Aceh berjumlah 15,5 hingga 30,9 trilyun rupiah pada tahun 2013 - 2017. Sebagian besar belanja ini diperuntukkan untuk belanja pegawai, yaitu sejumlah 37 – 58 persen per tahun.
Secara total, pendapatan daerah Aceh yang bersumber dari dana Provinsi Aceh dan seluruh dana Kabupaten/Kota terus meningkat setiap tahunnya, dari 35,95 trilyun rupiah pada tahun 2014 hingga mencapai angka 45,62 trilyun rupiah di tahun 2017. Demikian juga dengan belanja daerah Aceh, yang terus bertambah dari 32,49 trilyun rupiah pada tahun 2014 hingga sebesar 46,09 trilyun rupiah di tahun 2017. Pendapatan daerah Aceh sebagian besar berasal dari dana perimbangan, sementara dana PAD sangat kecil kontribusinya. Untuk belanja daerah Aceh, sebagian besar dialokasikan untuk belanja pegawai.
Kontradiksi Dengan Jumlah Penduduk Miskin
|
Kondisi Salah Satu Rumah Masyarakat |
Kekayaan alam dan hasil bumi Aceh yang melimpah, tidak menjadikan Aceh makmur, justru sebaliknya Aceh menjadi daerah miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir peringkat provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Sumatera per September 2018. Hasilnya, Aceh, yang memiliki kekayaan alam besar dan alokasi dana khusus, malah menduduki peringkat tertinggi angka kemiskinannya dan peringkat 5 secara Nasional.
Berdasarkan data BPS Jumlah penduduk miskin di Aceh pada September 2018 mencapai 831,50 ribu
orang (15,68 persen). Jika dibandingkan dengan persentase penduduk miskin pada Maret 2018, maka selama periode tersebut terjadi penurunan jumlah penduduk miskin mencapai delapan ribu orang. Sementara apabila dibandingkan dengan September tahun sebelumnya terjadi penurunan jumlah penduduk miskin yaitu sebanyak dua ribu orang. Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2018 - September 2018
persentase penduduk miskin mengalami penurunan di daerah perkotaan sebesar 0,81 persen dan di daerah perdesaan mengalami kenaikan sebesar 0,03 persen
Selama periode tahun 2015 sampai dengan 2018 jumlah dan persentase penduduk miskin di Aceh berfluktuasi. Pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin mencapai 851,59 ribu orang (17,08 persen) kemudian meningkat menjadi 859,41 ribu orang (17,11 persen) pada September 2015. Selanjutnya turun pada Maret 2016 menjadi 848,44 ribu orang (16,73 persen) dan kembali turun pada periode berikutnya mencapai 841,31 ribu orang (16,43 persen) di September 2016. Pada periode Maret 2017 terjadi peningkatan kembali menjadi 872,61 ribu orang (16,89 persen). Sedangkan pada periode September 2017 kembali menurun menjadi 829,80 ribu orang (15,92 persen). Kenaikan kembali terjadi pada periode Maret 2018 menjadi 839,49 ribu orang (15,97 persen), dan pada periode September 2018 kembali turun menjadi 831,50 ribu orang (15,68 persen).
Referensi :